telah
menjadi isu vital dan sensitif dalam sejarah Indonesia sebagai negara berdaulat
karena menyangkut identitas bangsa. Sumpah pemuda 1928 telah
membangkitkan semangat nasionalisme yang membawa Indonesia merdeka (1945).
Namun, Kemerdekaan yang sama juga membawa dilema bagi perkembangan konsep
kewarganegaraan di Indonesia. Bangsa Indonesia memiliki setidaknya dua pilihan,
pertama, berkaca pada sejarah leluhur sebelum masa penjajahan. Kedua, berkaca
pada sejarah penjajahan. Tampaknya, kita memilih pilihan kedua. Bagaimana
dengan pilihan pertama?
Bangsa
Indonesia adalah bangsa yang besar dan terbuka sejak ratusan tahun silam.
Rempah -rempah Nusantara telah di perdagangkan hingga ke Kaisaran Romawi lebih
dari 2500 tahun silam melalui perantara pedagang Gujarat dan Persia.
Kepulauan Nusantara telah menjadi jalur penting perdagangan Internasional sejak
dulu kala. Karenanya, zaman keemasan Indonesia, justru terjadi pada abad 13,
dengan keberhasilan Majapahit mendapatkan pengakuan kedaulatan atas konsep “Nusantara,”
yang mendasari bentuk NKRI sekarang ini.
Yang
menakjubkan dari perjalanan sejarah Kepulauan terbesar di dunia ini adalah,
konsep warganegara dan negara juga telah lahir sejak zaman itu, dengan di
adopsinya kata nagari (bahasa Sansekerta) sebagai negara-kota, dan warga yang
berarti grup, divisi, atau kelas.
Artinya,
konsep ini tidak di adopsi dari kebudayaan kolonial semata, kendati konsep
dasar antara citizen dan warganegara adalah serupa.
Berdasar pada perjalanan sejarah ini, sudah seharusnya Indonesia mampu
mengembangkan konsep Kewarganegaraanya setingkat lebih maju. Kemajuan ini di
tandai dengan adanya keterlibatan menyeluruh Warga Negara Indonesia dalam aspek
politik, ekonomi dan sosial. Namun, penjajahan telah memengaruhi arah
perkembangan konsep kewarganegaraan di Indonesia menjadi tertutup dan
protektif, terlebih ketika dunia memasuki perang dingin. Indonesia yang multi
etnis pun merasa terancam dengan keberadaan para etnis Cina yang di jamin hak
Kewarganegaraannya oleh Mao Tze Dong, dengan pernyataan terkenal nya “ setiap
orang Cina di muka bumi ini adalah warga negara Cina.” Kita pun memahami
apa yang terjadi pada Etnis ini di Indonesia, hingga gelombang perubahan
Internasional terjadi lagi paska perang dingin (1991-2000) yang menghantam
Indonesia dengan keras: krisis ekonomi, lepasnya Timor -Timur, dan tentunya
pergantian rezim. Paska Perang Dingin menandai era keterbukaan dan penghargaan
terhadap Hak Asasi Manusia (HAM). Setiap bangsa yang tidak menjungjung HAM,
akan dikucilkan di dunia Internasional. Indonesia pun mengambil inisiatif
serupa dengan memasukkan pasal HAM dalam konstitusinya. Akan tetapi, konsep
kewarganegaraan sebagai salah satu dimensi hukum yang menjamin tegaknya HAM,
tidak mengalami perkembangan berarti (pasal 26 UUD 1945). Logikanya, HAM
menjadi milik hakiki setiap manusia. Namun, penegakkannya membutuhkan sistem
yang berlaku baik secara lokal maupun global.
Dalam
tataran lokal ataupun nasional, perangkat hukum yang mengatur hubungan antara
warganegara dan negaralah yang diharapkan mampu melindunginya. Di Indonesia,
hal ini belum menyeluruh yang bisa di lihat melalui pengaturan hak dan
kewajiban warganegara dalam memenuhi fungsi ekonomi dan sosial ( misal Undang
-Undang Pokok Agraria 1964 yang membatasi kepemilikan tanah dan bangunan bagi
warga negara Indonesia yang menikah dengan orang asing, Undang -Undang tentang
Keimigrasian 7/2011, tentang tata cara kehilangan kewarganegaraan secara tidak
sukarela. Apabila asas kehilangan tidak rela ini di batasi atau di tiadakan
(yang artinya setiap WNI tidak bisa kehilangan kewarganegaraan Indonesianya),
maka para WNI terlebih para migran, akan lebih leluasa untuk memberi kontribusi
pada pembangunan Indonesia.
Dalam
tataran global, Indonesia seharusnya lebih aktif dalam meningkatkan
wibawa hukum nasional dengan menjadi bagian dari perjanjian hukum
internasional. Sejauh ini, Indonesia belum menjadi anggota dari beberapa
perjanjian hukum Internasionalbagi penegakkan HAM.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar